[RWTN] It’s Called Love – 1

icl

 Chapter 1 – New Servant.


Keaadaan Joseon memang bukan sedang dalam masa jayanya. Justru berantakan dan mengerikan, terjadi kekacauan dimana-mana. Dan dengan hanya memikirkannya saja sudah membuat kepalaku sakit.

Kami tak memiliki apapun selain pedang dan busur yang biasa kami gunakan untuk melawan mereka. Sedangkan mereka memakai benda berwarna hitam terbuat dari besi yang kuat, memiliki peluru dengan kecepatan gerak yang cepat, sekali terkena, kami mati. Dan kami tidak tahu benda apa itu.

Semuanya berantakan, aku ingin menangis mengetahui kerajaan kami yang porak poranda. Jepang terlalu bengis, mereka tak punya hati maupun pikiran. Kupikir, mereka hanya memiliki nafsu dan hasrat menguasai dunia dalam diri mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka terhebat, menindas kami dan belasan bangsa lainnya. Andai aku bisa, aku sudah meremukkan mereka semua dari dulu.

Pekerjaan ayahku menumpuk, sebagai salah satu gubernur Joseon, ayah tak pernah berhenti untuk memperjuangkan negara kami. Sebagai satu-satunya putrinya, aku hanya bisa menegurnya untuk istirahat atau mengingatkan ketika terlalu lama dengan gulungan-gulungan dokumen negara.

Jepang selalu bertindak semena-mena, banyak rakyat kami yang di kirim ke tempat yang jauh untuk kerja paksa, banyak wanita yang menjadi budak seks tentara, banyak laki-laki yang di jadikan tenaga cuma-cuma oleh mereka.

Bukankah aku sudah bilang? Mereka hanya sekelompok makhluk bernafsu tak berhati yang berhasrat menguasai dunia.

Ayah menatapku sendu dengan wajahnya yang penuh lingkaran usia, matanya berkantung karena sering tertidur terlalu larut malam.

Aku tidak berani membayangkan kehidupan mereka yang diperlakukan semena-mena di luar sana. Melihat ayah yang seperti saja ini membuat hatiku merasa sakit. Aku merasa takut keluar dari rumah kecil ini. Setidaknya Jepang tidak masuk kemari. Aku aman.

“Kau harus memiliki pengawal pribadi, Suji-ah” ucap ayah. Aku menatap mata senjanya sendu. Pengawal. Aku tidak mau memiliki satu dari mereka. Apalagi untukku sendiri, bukan karena aku tak peduli akan keselamatanku. Tapi menurutku, itu berlebihan. Lebih baik mereka dikirim untuk pasukan perdamaian, bukan berjaga di depan paviliunku sembari melamun.

“Ayah, kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya” ucapku, sehalus mungkin. Ayah menghempas nafas dari hidungnya kuat. Dia mengkhawatirkanku karena dia menyayangiku, aku bisa membaca itu dari gerik mata abu-abunya, warna yang serasi dengan kepribadiannya.

“Kumohon putriku, bisakah kau mengerti? Kau adalah yang paling ingin aku lindungi, barulah negara ini, barulah diriku sendiri. Kau adalah yang paling berharga di dalam hidupku.”

Aku menghela nafas diam-diam untuk kalimat itu.

Ayah sangat pandai menyusun kalimat. Dulunya dia cendekiawan terpelajar, pekerjaannya adalah membaca buku dan membuka detail tentang dunia, namun sekarang dia lebih terlalihkan oleh selusin gulungan dokumen setelah Yang Mulia Raja mengangkat beliau menjadi Gubernur.

Dan untuk semua kalimatnya yang indah, aku harus menyerah. “Baik, Ayah.”

Ayah tersenyum lebar, mengangkat sedikit pipinya dan mengurangi kerutan disana. Ayah menceritakan padaku tentang pengawal itu. Seorang yang kehilangan orang tuanya yang dibawa oleh sekutu Jepang. Aku tak mengatakan apapun setelahnya, anak ini kehidupannya pastilah tidak mudah. Harusnya, ia tidak disini dan menjadi pengawalku, melainkan pergi untuk menebas kepala tentara-tentara itu untuk dendam orang tuanya.

Aku memilih kembali ke dalam paviliunku, hanya ada dua prajurit awam yang menjaga pintunya. Terkadang itu membuatku terjaga di malam hari, berpikir kapan mungkin perang akan pecah dan rumah ini tidak aman lagi. Namun karena aku ingin perang ini segera selesai sehingga aku tidak perlu merasakan ketakutan itu lagi, aku tidak mengharapkan seorang andal berpedanglah yang berada di sana.

———-

Pagi itu, Panglima Kim Jongin datang mengetuk pintu paviliunku. Di belakangnya ada seorang lelaki yang memiliki ukuran tinggi badan yang hampir serupa dengan Panglima Kim. Tubuhnya tegap dan tatapan matanya tajam, tanda bahwa ia adalah seseorang dengan pengetahuan yang tinggi. Kulitnya lebih bersih dari panglima Kim dan Jubahnya agak berkibar ditiup angin. Ia pasti orang itu.

“Mulai Sekarang, dia adalah pengawal Pribadi anda, Nona Muda. Namanya Oh Se Hun.”

Dan aku benar.

Lelaki itu membungkukkan dirinya padaku. Aku menatapnya sejenak, mengira-ngira usianya. Kurasa, dia benar-benar setara dengan Panglima Kim, termasuk usianya. Sedangkan Kim Jongin akhirnya membungkukkan badan sejenak dan kemudian undur diri.

“Berjagalah.” Itulah satu-satunya hal yang bisa kuucapkan. Aku tak pandai membuka percakapan. Diam membuatku nyaman dan tenang. Setidaknya sesaat ketika aku tidak perlu mendengar apapun yang dilakukan oleh sekutu Jepang.

“Baiklah Nona Muda.” Jawabnya pelan. Aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam paviliunku, membaca beberapa buku dan mempelajari lagi karakter China. Aku melirik sejenak Oh Sehun, pengawal itu berdiri tegak layaknya patung di dekat pintu. Punggungnya benar-benar lurus menghadap ke arahku.

Dia kuat. Itu yang aku simpulkan.

———-

Satu hal yang aku pikirkan dari dulu, hendak kuwujudkan namun masih belum terjadi hingga detik ini. Bukan sebuah gagasan yang baik atau menarik, justru sangatlah tidak masuk akal dan juga berbahaya. Namun itulah satu-satunya hal yang aku ingin lakukan ketika mendengar bahwa Jepang semakin semena-mena dari para pelayan yang bercengkrama.

Aku punya kesempatan. Lebih baik untuk saat ini dibanding dulu.

Alasannya, sederhana, ada Oh Sehun disini. Aku yakin, terlepas dari ketidaksetujuanku akan keberadaannya, dia bisa membantuku. Dia paling bisa melakukannya, satu-satunya, bahkan.

“Nona Muda—” Sehun menyebut namaku ketika aku berjalan mendekat dan berdiri beberapa jengkal di hadapannya. Lelaki itu masih dalam posisi sama, berdiri tegak, seolah kaki-kakinya terbuat dari batu yang keras dan kuat.

“Bisa kau membantuku?” Permintaan pertamaku.

Sehun tersenyum tipis, hampir lepas dari penglihatanku, namun aku masih mampu menangkapnya dengan kejelian. Dia menjawab dengan sopan, khas seorang pengawal terlatih. “Tentu saja, Nona Muda. Apapun.”

Apapun.

Aku mengulang kata itu setidaknya delapan kali di dalam kepalaku, bertanya-tanya apa ia benar-benar akan melakukan apapun yang aku mau, termasuk permintaan tidak masuk akalku ini.

“Bisakah kau mengantarku ke suatu tempat?”

Dahi Oh Sehun berkerut mendengar permintaanku, dia menangkap kejanggalan tentu saja. Aku tidak perlu memintanya jika aku hanya ingin berkeliling di sekitar rumah, dia pastinya akan mengikutiku di belakangku. Dan aku tahu dia pasti paham maksudku. Bukan disini, bukan di tempat ini. Aku ingin dia mengantarkanku ke suatu tempat, sebuah tempat. Di luar penjagaan pagar kokoh rumah Ayah.

“Anda tidak bermaksud untuk—”

“Sayangnya aku bermaksud.” Potongku.

“Tapi itu sangat riskan. Sangat berbahaya, anda tahu itu dengan pasti, banyak tentara Jepang berpatroli disekitar. Bahkan di depan rumah ini. Aku—”

“Kumohon.” Potongku lagi, dengan suara yang aku tidak pikirkan akan keluar begitu lirih dan menyedihkan. “Aku ingin sekali saja setidaknya, dalam hidupku. Melihat bagaimana orang-orang, tidak hanya sekedar melalui telinga. Melainkan mata, aku ingin tahu bagaimana mereka semua hidup ketika aku aman di dalam pelukan hangat ayah. Bisakah? Kau mengabulkan permintaan seorang gadis kecil yang telah lama terkurung di dalam rumah ini?” Pintaku, dengan penggunaan rangkaian kata yang lebih panjang dari yang kukira.

Oh Sehun memberikan mata hitamnya untuk berseturu pandang padaku. Pada detik ini, aku nyaris berpikir ia akan setuju dan pada detik kemudian, aku justru merasa dia berpikiran untuk menolaknya. Kemudian, akhirnya aku sadar bahwa aku tidak bisa membaca raut wajah lelaki itu, dia adalah tipe seseorang yang sulit ditebak.

“Baik Nona Muda, tapi anda harus berhati-hati.” Ucapnya, mengungkapkan keputusan yang ia buat. Wajahnya tenang, seolah tidak mengkhawatirkan apapun dan aku suka itu. Dia memintaku mengganti pakaian rumitku untuk sebuah baju yang lebih fleksibel. Aku menurut.

Dia membantuku melompat pagar, menghindari beberapa pengawal rumah dan tentara jepang yang berada di sekitar pagar rumah Ayah. Aku lega kami berhasil melewati semuanya tanpa halangan yang berarti, Oh Sehun benar-benar bukan pengawal yang biasa.

Satu hal yang terus menggelitik anganku adalah keadaan dimana Oh Sehun tidak melepas jemarinya dari milikku semenjak kami berlarian meninggalkan rumah. Ada beberapa hal yang membuatku tak ingin pula melepaskannya. Pertama, aku takut aku akan tersesat. Kedua, aku takut kami terpisah. Ketiga, aku merasa nyaman.

Lima belas menit. Jika tidak salah itulah masa yang kulewatkan untuk sampai di tempat ini. Dan rasanya perutku bergolak, tenggorokanku tercekik dan kepalaku sakit. Tempat ini, jauh dari apa yang terbayangkan di dalam kepalaku.

Dan ya, ini jauh lebih mengerikan. Kekerasan. Kekejaman. Kebengisan. Ketiga poin itu meninggalkan banyak jejak di sini. Rakyat-rakyat terlihat kotor, rumah mereka kumuh dan aku meyakini bahwa mereka sudah tidak menyentuh makanan selama berhari-hari.

Aku merasa lumpuh, kaki-kakiku seolah kehilangan tulang-tulang penyangga. Aku ingin menangis, untuk ketakutan, kemarahan dan kebingungan. Satu-satunya pelindungku adalah punggung kokoh Oh Sehun yang berjarak beberapa jengkal dariku, membimbingku untuk tetap berjalan.

“Apa ini sudah cukup, Nona Muda?” Oh Sehun bertanya padaku. Kedua matanya tetap sama, masih tidak terbaca. Aku cukup terguncang oleh kenyataan yang baru saja kuterima. Aku menatapnya sendu.

Ya, ini lebih dari cukup. Mungkin semua ini nantinya akan merasuk ke dalam mimpi buruk yang mengganggu tidurku setiap malam.

“Kita harus kembali, Nona muda.” Ucapnya dan aku memberikannya sebuah anggukan. Menahan mati-matian air mata agar tidak keluar dari pelupuk mataku, mencegah tangan kiriku yang bebas agar tidak terlalu gemetar. Sedangkan tanpa sadar, genggamanku pada tangan Sehun makin menguat. Aku gemetar, aku takut.

Sehun menyadari itu, tentu, siapapun akan mengetahuinya. Aku tidak tahu seberapa pucat wajahku untuk saat ini. Aku berusaha sekuat tenaga menutupinya, aku tidak ingin terlihat menyesali keputusanku sendiri. Meski aku tahu harusnya aku tidak pernah kesini, namun sebagian dari diriku sama sekali tidak menyesalinya dan berkata bahwa ini memang harus dilakukan.

“Nona Muda, anda baik-baik saja?” tanya Sehun, kaki panjangnya tetap melangkah, sedikit lebih cepat dibanding sebelumnya.

Aku mengangguk dan menjawab, “Ya. Aku baik-baik saja.”

Sehun tidak mengatakan apapun setelahnya, pun aku. Kecepatan langkah kami semakin cepat dan aku sadar kami sudah mulai berlari.

Satu.

Satu orang, menghadang kami dan menatap kami penuh curiga, sebelum sepasang matanya terarah padaku, lantas raut curiga lelaki itu berubah menjadi sumringah, tapi itu tetap tidak terlihat cocok untuknya. Kemudian, dia tersenyum dengan sebuah senyum yang nyaris membuatku ingin memuntahkan isi perutku.

“Ah, kurasa kau adalah Puteri Gubernur Bae, lama tidak bertemu.” Ucap pria itu. Tubuhku menegang, dan aku merapatkan jemariku pada milik Sehun. Dia tahu identitasku, dan itu bukanlah sebuah hal yang cukup bagus.

Oh Sehun segera bereaksi, ia memajukan tubuhnya untuk menghalang lelaki dengan gigi berwarna kekuningan itu mendekat. Dari pakaiannya, dapat dipastikan dia adalah prajurit Jepang. Bukan prajurit biasa karena dia mengenaliku; artinya dia pernah datang ke rumah Ayah sebelumnya, dan tidak ada prajurit biasa Jepang yang pernah masuk ke sana.

“Kau seharusnya tidak pernah keluar, Nona yang cantik. Apalagi hanya dengan membawa seorang prajurit berwajah bodoh dan konyol ini. Aku yakin dia tidak bisa melakukan apapun.” Aku membenarkan kalimat pertamanya, meski agak menolak juga. Dan aku ingin tertawa sekeras mungkin untuk candaannya, satu-satunya yang berwajah bodoh dan konyol adalah dirinya sendiri.

Ia menarik pedang dari saku pedang di pinggangnya, Sehun melakukan hal serupa dan suara denting pedang yang bertubrukan mendenging di telingaku. Aku tidak suka menyaksikan pertempuran, aku benci suara dentingan pedang, aku benci suara teriakan orang-orang yang bertarung, baik untuk membangkitkan semangat atau lambang kesakitan yang tak tertahankan.

Pedang itu bersentuhan, bertubrukan, menghantam dan mereka berdua berteriak setiap mengayunkan pedangnya. Sehun melangkah maju, memberikan kuda-kuda depan dan berusaha melukai prajurit Jepang itu. Sedangkan sang prajurit Jepang bisa mencegahnya dengan menubrukkan pedang miliknya sendiri.

Lengan kanan, Sehun harus melukai bagian itu agar kami bisa pergi.

Sekejam apapun Jepang, aku tak berharap Sehun menghabisi nyawanya di depan mataku, dan kuharap, Sehun bukan orang yang seperti itu mengingat aku juga tak terlalu mengenalnya. Aku bahkan baru bertemu dengannya kemarin.

Lengan kiri Sehun ditebas pedang, lelaki itu meringis sedangkan aku menjerit. Sedari tadi kemampuan pedang Oh Sehun terlihat indah dan laras, namun kelihatannya prajurit Jepang itu juga tidaklah main-main, meski penampilannya lebih cocok seperti prajurit buangan yang berubah status menjadi gelandangan.

Oh Sehun menaikkan pedangnya sekali lagi, untuk menadahi serangan dari prajurit Jepang itu. Aku hanya diam, berdoa agar Sehun adalah orang yang memenangkannya.

Splash.

Sehun berhasil menebas lengan kanan sekaligus kedua kaki lelaki itu, badannya ambruk dan pedangnya terjatuh. Kemudian Sehun mengangkat pedangnya, matanya berkobar-kobar api imajiner. Aku menahan napas, meskipun awam, aku cukup yakin arah tebas sehun yang selanjutnya adalah dada kiri.

Lelaki yang tak berdaya itu memejamkan matanya pasrah. Pun begitu aku. Namun lama, tak kudengar apapun lagi jadi kubuka mataku. Hanya untuk menemukan SeHun memalingkan wajah sembari menghela napas, “Kau beruntung hari ini,” katanya pelan.

Lelaki itu kemudian mendekatiku dan aku menjauh dua langkah kebelakang. Aku tahu wajahku masih terkejut dan aku berkata tanpa sadar, “Kau hampir membunuhnya.”

“Dia dulunya adalah Jenderal Jepang. Dia dibuang.” Ucap Sehun, menjelaskan. Jadi, dia memang gelandangan. Sebelum Sehun melanjutkan ceritanya, ia meringis sembari memegangi lengan kirinya yang tadi terkena tebasan pedang.

Aku menariknya menepi dan duduk diatas sebuah batu yang berukuran cukup besar, mengambil kain putih yang kusimpan di selipan bajuku, kebetulan tadi aku membawanya. Aku mengikatkan kain itu di lengan Sehun karena itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan sekarang. Aku melirik Sehun, lelaki itu menahan ringisannya.

“Kedua orangtuaku dibawa pergi oleh prajurit Jepang.” Ucapan Oh Sehun membuatku menghentikan gerakan tanganku mengikat lukanya. “Dan itu terjadi pada masa kepemimpinan orang tadi, mantan Jenderal besar Jepang yang akhirnya kulepaskan.”

Aku terkejut mendengarnya, kemudian aku tersenyum tipis padanya, “Kau tahu, prajurit Oh?”

Dia menatapku.

“Kita bukan Jepang yang kejam. Kita tidak membunuh untuk kekuasaan. Ataupun dendam.” Kataku sembari melanjutkan kegiatanku untuk mengikat lengannya, mencegah membesarnya pendarahan.

Aku bisa merasakan Oh Sehun yang tadinya menegang mulai melunak. Dan lelaki itu tak henti-hentinya menatapku dari tadi. Dan aku tidak terlalu menyukainya. Hanya saja, rasanya asing ditatap oleh seorang lelaki cukup lama, itu cukup menganggu tapi di sisi lain aku ingin dia tetap seperti itu.

Tigapuluh detik kemudian, Oh Sehun menggeleng seolah menyuruh dirinya sendiri menghentikan sesuatu. Kemudian ia mengalihkan tatapannya pada bintang di langit. Setelah selesai, aku pun beranjak pergi, Oh Sehun segera menyusulku, dan kami sampai di paviliun dengan selamat.

————-

Hari ini, untuk kesekian kalinya aku melihat Sehun tertidur dengan keaadaan tubuh yang berdiri, itu agak mengangguku. Maksudku, apa dia benar-benar manusia ketika dia bisa tidur dalam keadaan berdiri? Atau mungkin dia memang hanya memejamkan matanya, tidak tertidur. Entahlah, aku tidak dalam kondisi berminat untuk menganalisisnya lebih jauh.

Aku lebih suka malam hari di banding siang. Mungkin karena aku suka kesunyian. Mungkin karena aku tidak suka cuaca panas. Mungkin karena aku suka cantiknya bintang yang berkelipan diatas langit. Mungkin.

Oleh karena itu, tidak jarang aku keluar dari paviliun di malam hari, berdiri memandang bintang dan mencoba untuk menghitung mereka, meski itu tidak mungkin berakhir.

Aku melengkungkan bibirku ke atas, berusaha memberikan satu poin bangga pada bintang-bintang yang sedikit mengalihkan pikiranku dari segala hal itu. Tidak. Aku tidak boleh mengingat-ingatnya lagi untuk sekarang. Aku cukup harus menatap bintang-bintang yang sedang mengerling padaku, tersenyum pada mereka meski aku tahu aku tidak cukup cantik untuk menyaingi mereka.

Tak lama kemudian aku mulai mendengar suara langkah kaki seseorang. Dan tanpa perlu melihat, bisa dipastikan kaki itu adalah milik Oh Sehun. Lelaki itu berdiri tepat disebelahku, kepalanya menengadah, kedua mata hitamnya memandang ke arah rumpunan bintang-bintang dan memantulkan cahayanya. Lelaki itu terlihat menarik untuk saat ini. Dan aku tidak sadar telah mengulum sebuah senyum tipis untuknya.

“Kau suka bintang?” Pertanyaan itu keluar spontan dari bibirku. Oh Sehun mengalihkan pandangannya padaku, kemudian menjawabnya, “Iya. Saya menyukainya.”

Satu lagi jawaban yang kaku.

Aku melirik langit sekali lagi, pun begitu dia. Namun tatapan mataku kembali teralih padanya, lelaki itu bertambah menarik berkali-kali lipat semakin lama diperhatikan, pandangan matanya yang sejuk, wajahnya yang penuh misteri dan tidak mudah untuk ditebak, bibirnya yang tipis dan selalu mengeluarkan suara penuh wibawa, sopan dan hormat. Aku merasakan gejolak nyaman di perutku, letupan aneh di dadaku yang terasa baik. Itu semua tidak wajar.

Aku mengembalikan perhatianku pada langit sebelum aku berpikir terlalu jauh dan tidak benar lagi.

Kemudian, tanpa bisa dicegah, bayangan-bayangan itu muncul lagi.

Bayangan tentang kehidupan di luar pagar penjagaan ayahku. Anak-anak itu, yang kehilangan keluarganya, tidak pernah merasakan pelukan hangat di tangan ibu dan ayah, mereka yang hidup dengan ketakutan dan ketidakadilan. Aku merasa salah untuk tinggal diam di sini, namun aku juga terlalu pengecut untuk melakukan sesuatu yang berguna untuk mereka, bukan hanya meratapinya seperti orang bodoh dan menyedihkan.

Ya, aku memang pengecut. Dan aku tidak bisa mengubahnya.

Air mata kepengecutanku mulai turun dari pelupuk mata. Itu memalukan, aku tidak ingin menangis di depan siapapun, aku tidak mau terlihat lemah di hadapan siapapun, jadi aku menghapusnya. Namun semakin kuusap jejak air mata itu, semakin mereka keluar dengan lebih deras dan lebih deras lagi. Aku nyaris frustasi ketika sebuah isakan mulai muncul dari ujung tenggorokanku.

Sehun menatapku begitu mendengar suara menyedihkan itu. Dia tidak bertanya apapun, aku tidak bisa membaca juga apa yang dia pikirkan tentangku. Apa dia sedang mengeluhkan sesuatu di dalam hatinya tentang menjadi pengawal gadis lemah yang cengeng dan merepotkan; atau merasa kasihan dan simpatik; atau bahkan memahami kenapa aku menangis dan menganggapnya wajar. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, Oh Sehun adalah orang yang cukup sulit.

“Itu bukan kesalahan anda, Nona Muda.” Ucapnya kemudian, terdengar seperti bisikan yang dibawa terbang oleh angin. Dia mengerti kenapa aku menangis dan menganggapnya wajar; itulah yang kusimpulkan. Dan kurasa, aku mulai paham orang seperti apa Oh Sehun.

Ia menepuk pundakku pelan, beberapa kali, aku heran kenapa aku tidak melarangnya. Dia hanya melakukan kontak sebatas itu. Kemudian sedikit menjauhkan tubuhnya dariku. Aku tidak berkata apapun, pun dia. Kami sibuk menikmati kencangnya angin yang berhembus malam itu, air mataku mulai mengering. Tepukan pundak itu cukup ampuh untuk menguatkanku.

———

Oh Sehun tertidur. Dengan kaki tegak dan tubuh yang berdiri sempurna. Aku berjalan mendekat, kemudian mengamati kedua kakinya, serta punggungnya atau seluruh bagian tubuhnya, barang kali menemukan kejanggalan dan sebuah kenyataan bahwa dia memang seorang manusia berotot besi dan bertulang baja. Dia terlalu tidak normal untuk hal yang satu ini. Dan aku bukanlah orang yang sanggup mengabaikan keadaan sekitar. Aku tidak bisa berlama-lama melihat cara tidur seperti ini.

Aku mengguncang bahunya, dan kedua matanya langsung terbuka waspada, aku tertawa kecil melihat dia benar-benar mengekspresikan kewaspadaannya, dia tidak pernah seperti ini dan kupikir ini lucu. “Kau mengerikan.” Komentarku. Dia mengerutkan alis.

“Ya, kau mengerikan, kau tahu. Hanya manusia bertulang baja dan berotot besi yang tertidur dengan berdiri sempurna, kupikir kau adalah salah satunya.” Aku mengucapkannya dengan sekali napas. Sehun menatapku sejenak, kemudian dia tersenyum tipis, untuk pertama kalinya. Dan kupikir dia terlihat jauh lebih baik ketika tersenyum seperti itu.

“Seharusnya aku tidak perlu peduli, Oh Sehun. Tapi ini benar-benar mengangguku. Aku tidak bisa mengacuhkan sekitar. Jadi tolong, setidaknya duduklah jika kau ingin tidur. Aku yakin kau akan terbangun begitu mencium bahaya, mengingat sikap waspadamu barusan.” Ucapku panjang lebar, dengan nada cukup pelan.

Dia mengangguk, “Baik Nona Muda. Jika itu kehendak anda.”

Aku tersenyum tipis, menyadari ternyata memintanya tertidur dengan cara sedikit normal tidak sesulit apa yang telah terbayangangkan olehku sebelumnya.

Oh Sehun, kurasa memiliki pengawal sepertinya tidak terlalu buruk.

————-

6 comments

  1. Diramadhani · December 4, 2015

    Reblogged this on EXOSuzy FanFic!.

    Like

  2. amyya3 · December 7, 2015

    Walopun rewritten tapi tetep aja bagus.. ceritanya kerenn!! Kekeke ^^

    Like

  3. adiezty · December 25, 2015

    kereeenn 🙂

    Like

  4. Joe · January 1, 2016

    baru nemu n baca ni ff. ok juga. aq suka deh sama gaya bahasa n alurnya, gk keburu n pas. baru kali ini juga aq baca ff yg latarnya di era joseon, n maincastnya sehun-suzy. asli baru pertama kali baca, tapi beneran deh keyeennn banget!! aq suka pake banget! nice fanfic 😉

    Like

  5. mochisuez · January 3, 2016

    Reblogged this on mochisuez's Blog.

    Like

  6. ainbachtiar · September 16, 2016

    Aku baru baca pertama kali dan aku suka , apalagi alurnya masa bersejarah 😍 dan aku selalu suka gaya penulisan mu serta penokohan mu

    Like

Talk & Review Here!